Tuesday 19 October 2010

3000an Orang Bersatu Menolak Terorisme di Konser Metal Untuk Semua

0


Parade band metal dari berbagai generasi bersatu menyuarakan dukungan terhadap pluralisme.
Oleh : Rama Wirawan

Foto : Dedidude
Bookmark and Share
“Tadi sempat hujan deras, tapi sekarang sudah berhenti. Ini adalah bukti bahwa Tuhan memberkati musik setan,” kata Daniel vokalis Deadsquad dengan lantang dan jelas. Ucapan itu kemudian diamini para metalheads dengan mengangkat tangan mereka yang membentuk devil horns tinggi-tinggi ke udara.

Tentu saja ribuan manusia yang Minggu (17/10) sore itu berada di Bulungan Outdoor tidak sedang melakukan prosesi pemujaan setan ataupun upacara penyembahan berhala. Melainkan, sebuah konser musik metal sedang berlangsung di sana.

Deadsquad adalah band terakhir yang tampil sebelum break Maghrib. Minus pemain gitar Choky, Deadsquad menggempur telinga metalheads dengan komposisi-komposisi padat namun estetis mereka dari album Horror Vision (2009).

Setelah menuntaskan lagu ketiga, “Hiperbola Dogma Monoteis”, pemain bass Boni yang memiliki gaya khas mencabik-cabik 4-strings dengan rokok tersemat di bibir itu mengajak penonton berinteraksi. “Coba gue mau lihat tangannya dong,” pintanya kepada para penonton. Sontak ribuan devil horns kembali terlihat lagi di udara.

Tampak puas, Boni kemudian melanjutkan, “Ada yang bilang ini adalah simbol Zionis. Salah berat. Mereka nggak tahu kalau ini dipopulerkan oleh Ronnie James Dio? Bertahun-tahun main musik metal nggak kenal siapa Dio?”

Seperti yang tertulis dalam keterangan di situs jejaring sosial, konser yang diselenggarakan kolektif Bandar Metal yang diberi tajuk Metal Untuk Semua itu, “Bertujuan mengkampanyekan perdamaian, menghargai perbedaan dan menjunjung toleransi antar umat beragama yang belakangan mulai terganggu dengan aksi-aksi kekerasan/teror berkedok agama.” Menengok pada konteksnya sebagai kampanye, maka wajar rasanya bila hari itu para musisi yang tampil terlihat berapi-api dalam menyuarakan aspirasi mereka masing-masing dari atas panggung.

Seluruh band yang tampil di acara tanpa sponsor ini tidak ada satu pun yang dibayar, mereka secara sukarela ikut serta di acara ini untuk ikut mengkampanyekan perlawanan terhadap terorisme dan menghargai perbedaan. Sementara keuntungan yang di dapat dari acara ini nantinya akan dibagi secara rata bagi seluruh band yang tampil.

Soal devil horns atau metal horns, yang sempat jadi polemik di kalangan metalheads Jakarta, hari itu tampaknya menjadi isu seksi yang terus menerus disinggung para musisi yang naik ke atas panggung. Tema acara: “Konser Pro-Pluralisme & Anti-Terorisme” juga sepertinya sengaja dirancang untuk merespon propaganda yang coba menggiring subkultur metal menjadi eksklusif hanya bagi satu golongan atau agama tertentu saja.
Secara tersirat, tema ini tampaknya telah dipahami dengan baik oleh semua yang hadir, “Pro-Prularisme” menjadi pesan: Musik heavy metal dan subgenrenya adalah untuk semua yang hadir, yang tidak perlu dipolitisir dengan ajaran-ajaran agama tertentu sehingga berpotensi menyulut perpecahan komunitas di dalam subkultur yang telah sejak puluhan tahun lamanya hidup dalam aneka perbedaan agama, suku, ras, status sosial, dan sebagainya.

Tema “Anti-Terorisme” adalah untuk meng-counter upaya infiltrasi doktrin teror dengan kekerasan yang berkedok agama kepada segenap metalheads muda yang mayoritas mudah dipengaruhi. Fakta membuktikan bahwa beberapa dari ”pengantin” (pelaku terorisme) di Indonesia adalah kalangan ABG. Ada indikasi kuat pula bahwa kini para teroris berkedok agama coba menggunakan medium musik metal sebagai salah satu proses rekrutmen ”pengantin.”

Sebelum Deadsquad, Panic Disorder memborbardir para pecandu distorsi dari atas panggung dengan nomor-nomor beringas mereka. Bak hewan buas yang berada di dalam kerangkeng, para metalhead di barisan terdepan ber-headbanging sembari mengguncang-guncangkan pagar barikade yang membatasi mereka dengan panggung.

Seorang remaja puteri yang baju dan rambutnya tampak basah karena siraman hujan beberapa waktu sebelumnya memilih untuk melakukan sesuatu yang lebih liar lagi: Berdiri di atas pagar barikade, dan mengguncang-guncangkan kepalanya di sana selama beberapa saat. Panic Disorder menyudahi kegilaan itu dengan lagu terakhir, “Doktrin Penghancur”.

Hujan gerimis masih turun tatkala band sebelum Panic Disorder tampil, Seringai. Tapi para metalheads tak gentar oleh butir-butir air yang terus berjatuhan di atas kepala mereka. Sebaliknya mereka terlihat lebih berapi-api saat mengepalkan tangan ke udara sembari berteriak bersama-sama, “Individu / Individu Merdeka!!!”

Seakan menolak tunduk pada dogma apapun yang selalu mencoba mengontrol pikiran mereka. Melihat pemandangan ini mengingatkan pada salah satu bagian penting signature Roger Waters eks-Pink Floyd, “The Wall”: “We don’t need no education / We don’t need no thought control…”

Vokalis Arian13 seakan menemukan ruang untuk menyampaikan pandangan-pandangan politisnya secara leluasa di sini. Mereka yang sepekan sebelumnya sempat menyaksikan penampilan Seringai di Pantai Karnaval, Ancol, pasti menyadari bahwa set list Seringai sore itu tidak jauh berbeda. Dan masih sama pula seperti pekan sebelumnya, orasi Arian sore itu juga berisi seputar kritiknya pada aparat kepolisian Bandung yang susah memberikan ijin untuk mengadakan acara musik dan juga mengkritisi kebijakan sensor internet oleh Menkominfo Tifatul Sembiring.

“Dia pernah mengatakan bahwa bencana alam yang terjadi di Indonesia itu karena perbuatan tidak bermoral. Sehingga dia merasa perlu untuk memblokir situs porno,” kata Arian. “Itu sih karena letak geografis Indonesia saja yang berada di daerah rawan gempa.”

Selain nomor-nomor lama, Seringai membawakan dua lagu baru lainnya yaitu: “Dilarang di Bandung” dan “Program Party Seringai”. Dan hujan pun mulai reda.

Sebelumnya tampil cadas pula band old school death metal Jakarta, Ritual Doom yang masih digawangi oleh gitaris perempuan Vivi dan kini bersama vokalis Arry Fajar (eks-Purgatory). Band brutal death metal Funeral Inception membuka konser sore hari itu dengan meng-cover nomor milik Nile yang berjudul ”Kafir.” Doni Iblis, vokalis sekaligus show director Metal Untuk Semua termasuk salah satu yang berorasi cukup keras sore itu.

Metal is about fun! Metal tidak ngajari kita untuk ngebom, tidak ngajari kita untuk membenci atau anti terhadap agama lain, it’s about fun!” Tak lama setelah ia berorasi mendadak hujan pun turun cukup deras.

Band grindcore yang sangat plural komposisi personelnya, Noxa, tampil cukup pagi di acara tersebut. Karena beberapa orang personel mereka harus bekerja di hari Minggu. Walau tampil pagi bukan berarti para penggemar tidak ada, venue yang awalnya masih sepi mendadak ramai begitu Noxa mengentak dengan nomor-nomor brutal cepat dan pendek mereka.

Pluralisme memang bukanlah sesuatu yang aneh di dalam Noxa. Tak ada personelnya yang bersuku dan beragama sama di dalamnya. Vokalis Tonny beragama Kristen dan bersuku Batak, gitaris Ade adalah Muslim dan bersuku Jawa, bassist Nyoman adalah Hindu dan berasal dari Bali sementara drummer baru mereka, Alvin beragama Katolik dan berasal dari Jakarta. Semuanya berjalan dengan baik di dalam band ini tanpa menghiraukan apapun latar belakang mereka masing-masing. 

Beberapa yang tampil kemudian di Metal Untuk Semua di antaranya adalah band metalcore Straightout, gothic power metal Gelap, death thrash metal Death Valley, veteran death metal Trauma, Sabor hingga Death's Gray. Semuanya sama-sama meneriakkan perlawanan terhadap terorisme dan pesan-pesan toleransi antar umat beragama.

Jumlah penonton tidak berkurang secara signifikan ketika band thrash Oracle tampil membuka sesi kedua setelah break maghrib. Vokalis Troy Adam dengan rendah hati berterima kasih karena bandnya telah diundang di acara ini. Kemudian mereka kembali memanaskan amplifier dengan lima lagu, yang tiga di antaranya merupakan lagu dari album mereka No Truth, No Justice (2010): “Blessed in Funeral”, “K.P.K” dan “Calo Bangsat (Airlines).”

Dreamer juga menjadi band yang ditunggu-tunggu penonton malam itu. Vokalis perempuan Rika Ariga yang malam itu tampil cantik dan lebih leluasa untuk ber-headbanging setelah melahirkan, berhasil menjadi faktor penarik penonton untuk merapat ke depan panggung. Mereka membawakan dua lagu sendiri “Bait Suci” dan “Seroja 1975”, sebelum mengundang vokalis heavy metal legendaris Arul Efansyah untuk naik ke atas panggung.

“Selamat malam, Rakyat Metal!” teriak vokalis band Power Metal itu dengan suara melengkingnya yang khas. Kemudian bersama Arul, Dreamer membawakan dua lagu Power Metal, “Angkara” dan “Timur Tragedi”. Untuk beberapa saat venue jadi terasa berada di tengah pusaran puting beliung akibat pertemuan energi dari panggung dan penonton yang sama besarnya.

Tak lama berselang setelah penampilan Dreamer usai, band death metal Jakarta Timur, Siksakubur, kembali membuat ribuan orang yang masih bertahan di sana menjadi kehilangan kendali. Instrumental “Darah Terpilih” yang angker itu terdengar ketika pemain gitar Andre Tiranda, pemain bass Ewin, pemain gitar Nyoman dan pemain drum Prama sudah siap di atas panggung.
Ketika intro lagu “Anak Lelaki dan Serigala” yang menghentak terdengar, dan vokalis Japs muncul, metalheads pun langsung mengangkat devil horns mereka tinggi-tinggi sekali lagi. Dan Siksakubur pun tak segan menggempur mereka dengan lagu dari album terakhir mereka itu, Tentara Merah Darah (2010).

“Coba gue mau lihat tangan kalian semua. Gue mau melihat apakah jari kalian masih baik-baik saja,” kata pemain gitar Andre Tiranda kepada penonton setelah memainkan lagu kedua, “Menanduk Melawan Tunduk”. Dan tanduk-tanduk setan itu pun terlihat kembali.

“Ternyata jari kita masih baik-baik saja, ya,” kata Andre kemudian sedikit tertawa. Siksakubur pun melanjutkan dengan “Destitusi Menuju Mati” dari album Eye Cry (2003), serta dua lagu lagi dari album terakhir mereka “Dewa yang Terluka” dan “Memoar Sang Pengobar”.

Sebagai penutup acara, Bandar Metal mendaulat band thrash metal legendaris Roxx sebagai pemungkas acara. Roxx barangkali satu-satunya band yang paling santai malam itu. Meski di belakang panggung terpampang spanduk acara berukuran besar, lengkap dengan nama acara dan temanya, gitaris Jaya berkata pada satu jeda, “Prularisme! Apaan tuh? Gue nggak ngerti. Yang gue ngerti cuma kemaluan!” Para penonton pun spontan terbahak-bahak mendengar guyonan Jaya.

Namun, penonton tampaknya telah mahfum dengan karakter gitaris berambut keriwil yang senang bersenda gurau itu. Sehingga ucapan tersebut tidak menjadi sesuatu yang dianggap kontra terhadap tema acara. Roxx membawakan tujuh lagu malam itu, di antaranya “Price,” “Rock Bergema,” serta “Heroin”—yang mereka tulis untuk mantan pemain drum almarhum Arry Yanuar. Sebagai penutup, tak lupa Roxx membawakan satu nomor milik Metallica, “Seek & Destroy,” yang mungkin sengaja dipilih untuk menyatukan semangat melawan terorisme.

Legenda thrash metal Indonesia Roxx, vokalis legendaris heavy metal/power metal Arul Efansyah, serta band-band metal besar lainnya telah tampil menyuarakan dukungan terhadap kemajemukan—atau yang biasa kita sebut dengan Bhineka Tunggal Ika. Maka masih perlukah kita membangun eksklusivitas golongan? Jelas tidak!

0 comments:

Post a Comment